Ayahku, ayah paling hebat sedunia, adalah sosok lelaki 57 tahun pensiunan sebuah BUMN besar di Indonesia. Di tengah tawaran-tawaran mengiurkan untuk kembali berkarya setelah pensiun dengan gaji yang lumayan, ayahku memilih tidak.
Ya ayahku memilih untuk benar-benar pensiun (setidaknya sampai saat ini), dan ingin konsentrasi ibadah. Hal ini amat kumaklumi, lelah dan letihnya yang ikhlas menjadi pencari nafkah mulai ia sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas, kuliah, hingga masa pensiunnya. Kehidupan yang dengan hati-hati selalu dijaganya untuk tidak menyukai bermewah mewah, telah mengantarkan ayahku pensiun dalam keadaan aman dan bersahaja.
Ya, bagi siapapun yang mengenal kami, keluarga kami, akan berpikir kami adalah keluarga yang mapan, tak pernah mengenal kata susah. Bagi yang berpikir demikian, akan aku ceritakan kisah ayahku. Mapan disini bukan sekejap kami raih. Mapan disini bukan tanpa pengorbanan. Mapan disini bukan hasil rampasan.
Inilah kisahnya
Ayahku, adalah anak kedua dari 9 bersaudara. Sebagai anak tertua lelaki, ia sudah dididik untuk bertanggung jawab terhadap keluarganya sejak dari kecil. Orangtua ayahku adalah seorang mantri sunat dan ibu rumah tangga biasa. Masa kecil ayahku dihabiskan di sebuh kota kecil di Sumatera Selatan, Prabumulih. Dengan gaji minim kakekku dan 9 anak yang harus makan dan sekolah, nyai (nenek) adalah orang yng harus memeras otak bagaimana hal itu semua dapat terwujud. Mulai dari jualan kacang goreng, manisan, es bon bon (es sirup warna warni dibungkus plastik panjang), semua iya lakoni. Ayahku yang ketika itu masih usia sekolah dasar tanpa malu menjajakan es bon bon di atas kereta api sepulang sekolah.
Ya jika anda suatu saat melihat anak lelaki berdagang di kereta. Jangan remehkan ia, anda tak tahu kisahnya, citanya, dan jadi apa ia kelak.
Menjelang sekolah menengah karena alasan biaya dan kepindahan kakek (Yai) ayah terpaksa dititipkan di kakak Nyai di Palembang. Disini ayah menjalani hidup selayaknya orang menumpang. Mengerjakan tugas rumah tangga sebelum berangkat sekolah dan lainnya.
Sekolah menengah atas ayah memilih masuk STM. Sekolah ini pun tidak ayah lakukan dengan berleha-leha. Ia sekolah sambil bekerja.
Alhamdulillah setelah menamatkan STM ayah diterima di fakultas teknik perminyakan universitas sriwijaya. Dengan beban nyai dan yai yang semakin banyak, ayah tidak dapat hanya kuliah saja, ia bekerja sebagai operator di pabrik pupuk di Palembang. Dengan sepedanya ia menuju Plaju menunggu kapal untuk membawanya ke pabrik. sering kudengar cerita, ayah terkantuk kantuk di kelas atau ketika ujian karena ia baru selesai jaga malam.
Ketika ada rezeki lebih, yai membelikan ayah vespa untuk memudahkan ia kuliah dan kerja. Gaji ayah yang tak seberapa ketika itu, sedikit ia ambil hanya untuk bensin vespanya. Beberapa ia tukarkan dengan uang pecahan kecil, dimasukkan ia ke dalam sebuah kotak untuk ongkos adik-adiknya sekolah. Dari cerita om ku, dulu ayah berkata
"ini ongkos kalian, ambilah jangan kurang jangan lebih, ambil secukupnya".
Sebagian besar sisa gaji, ayah serahkan kepada Nyai, yang kemudian oleh nyai diolah sebagi modal berdagang dan dikirim untuk uang saku adik ayah yang sekolah di IPB.
Setamat kuliah, ayah menikahi ibuku. Ketika aku lahir alhamdulillah ayah diterima bekerja di perusahaan yang lebih baik. Ibuku selalu mengulang cerita, apa yang bisa membuat keluarga kami sejahtera. Berapapun penghasilan ayah, ia selalu bagi 3, 1/3 untuk kebutuhan sehari2, 1/3 untuk ditabung, 1/3 untuk sedekah termasuk untuk membiayai nyai dan adik2nya serta keluarga ibuku yang memang sudah disadari sebagai kewajibannya. Jadi sampai sekarang ayah tak pernah absen akan tanggung jawabnya terhadap nyai, ombai (ibu ibuku) bagaimanapun keadaaanya. Dengan uang pensiun yang 1/9 dari gaji terakhirnya tanpa bisnis sampingan apapun. tidak ada yang berubah pada ayah akan kewajiban yang ditunaikannya. Selalu cukup, itu rahasia Allah, tangan Allah yang bekerja.
Karier ayah yang strategis pun tak lepas dari cobaan. Aku masih ingat ketika ayah ditugasakan selama 3tahun di daerah konfilk, perbatasan Aceh. Rompi anti peluru adalah yng wajib ayah kenakan katika berkunjung ke sumur minyak. Keharusan berlatih menggunakan senjata api dan kepemilikan pistol sebagai perlindungan diri adalah simbol betapa beresikonya jabatan ayah.
Yup sedikit cerita dari ayah paling hebat sedunia :) semoga Ayah disayang dan selalu dilingdungi Allah.
No comments:
Post a Comment